Back to home

888 (Hidup Tanpa Notifikasi)

Ahmad FauzanBy Ahmad Fauzan
9/15/20255 min read
Brad Pitt an Edward Norton from the Fight Club scene

Bagaimana rasanya hidup tanpa notifikasi? Apa yang bakal berubah dari setiap kebiasaan yang kita lakukan? Apakah perubahan itu negatif atau positif?

Pertanyaannya, mengapa repot-repot mau hidup tanpa notifikasi? Sebaliknya, kita justru harus bertanya mengapa hidup dengan notifikasi adalah jalan yang lebih baik? Notifikasi yang dimaksud tentu adalah ping, ding, dan bzzttt yang dihasilkan dari ponsel kita.

Secara umum kita menganggap bahwa notifikasi dan sosial media membuat kita lebih tahu tentang banyak hal, dengan lebih cepat; semua berita terkini masuk ke radar dan menjadi informasi baru bagi kita.

Notifikasi masuk ke dalam hampir semua aspek dalam kehidupan kita, tidak mengherankan bagi seseorang untuk mengecek ponsel sebagai hal pertama yang dilakukan setelah bangun, dan hal terakhir yang dilakukan sebelum tidur. Tapi dengan semua kenyamanan dan manfaat yang diberikan, apa yang kita bayar?

Bayangkan situasi ini: kita sedang mengerjakan tugas entah untuk pekerjaan, sekolah, kuliah atau apapun. Di tengah-tengah kesibukkan kita bekerja, terdengar ping dan ding dari benda persegi mungil yang menjadi barang favorit kita: muncul notifikasi baru.

Breaking News: Charlie Kirk baru saja tertembak dan meninggal.

"Siapa Charlie Kirk ini? Mengapa dia ditembak dan apa motif dan agenda si penembak? Bagaimana respon masyarakat Indonesia atas kejadian itu?"

Terlalu banyak pertanyaan untuk satu notifikasi sederhana. Membuat kita merasa bahwa mencari tahu jawabannya segera adalah hal yang tepat untuk dilakukan, sekarang. Apapun yang sedang kita lakukan tadinya (mengerjakan tugas misalnya), bisa menunggu sembari kita berselancar dalam ombak informasi.

Dan jauh sebelum kita menyadari itu semua, 10 menit berlalu. Lalu 30 menit. Dan berakhir berjam-jam melakukan hal yang sama seperti sebelumnya (Kita bahkan sudah tidak peduli siapa Charlie Kirk di menit ke 5, dan berakhir menonton video kucing di Twitter/X). Setiap satu gangguan yang kita dapatkan ketika sedang fokus, membutuhkan 23 menit untuk kembali pada level fokus yang hilang. Pertanyaannya: berapa banyak gangguan yang kita dapatkan dalam 1 jam belajar atau mengerjakan tugas?

Kita menghabiskan 8 jam setiap harinya bersosial media.
Itu sepertiga dari 24 jam yang kita punya setiap harinya.

Jika sepertiga yang lain adalah tidur,
dan sepertiga sisanya adalah pekerjaan nine-to-five kita.
Artinya kita punya: 8 jam sosial media, 8 jam tidur, dan 8 jam bekerja.

Asumsikan bahwa tidak akan ada perubahan dan kita akan melakukan ini selama 24 tahun ke depan (entah mengapa kita betah, dan bahagia dengan keadaan seperti ini).

24 tahun hidup kita akan menjadi: 8 tahun sosial media, 8 tahun tidur dan 8 tahun bekerja.

Jika hidup seperti itu tidak membuatmu takut, selamat. Kamu salah satu orang paling berani di jagat raya. Oversimplifikasi memang, tapi you get the idea.

Oh iya, kapan terakhir kali kita tidur 8 jam per hari? Sudah lama sekali. Setidaknya jam yang tidak kita gunakan untuk tidur akan masuk ke rekening waktu sosial media, jadi kita bisa mencari tahu siapa pacar baru artis korea favorit kita atau jogetan TikTok apa yang sedang ngetrend. (Yes, rekening waktu. Because time is money)

Aku pribadi sama seperti orang-orang lainnya yang merasa bersalah atas berlebihannya waktu yang diluangkan untuk hal yang tidak penting (baca: sosial media).

Ketika mengadopsi teknologi baru, akan ada efisiensi baru dan juga permasalahan baru. Pertanyaannya adalah apakah kita mampu (atau mau) memperhitungkan untung-ruginya? Atau justru secara membabi buta menerima apapun yang masuk ke radar kita tanpa peduli akan perhitungannya?

Apakah salah kita menghabiskan segitu banyaknya waktu untuk bersosial media? Mungkin. Kita adalah orang yang bertanggung jawab atas segala hal. Kita yang menyalakan ponsel, kita yang mendaftarkan akun dan mengaksesnya. Tanpa paksaan.

Tapi bukankah di situ seninya? Membuat kita bersuka rela mengeluarkan sumber daya terpenting yang kita miliki (baca: waktu), untuk memperhatikan hal-hal yang mereka sediakan algoritma. Dan jika kita jatuh pada trik atau "jebakan" semacam itu, tidak mengherankan. Semua insinyur terbaik di seluruh dunia, berkumpul di satu tempat dengan budget miliaran dolar untuk melakukan satu hal: membuat kita memperhatikan (dan mereka berhasil).

Menurutmu, bagaimana korporasi seperti Instagram dan TikTok memperoleh kekayaannya? Mengapa perusahaan tersebut tumbuh hingga miliaran dollar walau tidak ada satupun pengguna yang diharuskan membayar untuk menggunakannya?

Bisnis model mereka bergantung pada banyaknya waktu yang kita habiskan pada layanan mereka, yang akan berkontribusi jumlah paparan iklan (pengiklan kemudian membayar ke Instagram, Facebook etc.). Perusahaan seperti Meta tidak hanya menjual data pribadi penggunanya ke penawar tertinggi, tapi memberi celah untuk para pengiklan membentuk dan memprediksi kebiasaan pengguna. Mengunggulkan kepentingan pengiklan adalah default setting mereka, bukan pengguna.


Tidak ada salahnya mencari hiburan melalui sosial media, tapi apakah kita mau membayar harganya? Tidak ada makan siang gratis. We're using it for free, because we are the product. Dan di dunia yang serba terkoneksi secara maya (dan terputus secara nyata), uninstall dan logout adalah tombol pause untuk berefleksi.

Jika notifikasi dan sosial media tidak ada, apa yang akan kita lakukan sekarang? Apa rasa penasaran kita yang belum terpenuhi? Keahlian apa yang belum kita pelajari?

Kalau waktu adalah uang, berapa jumlah saldo kita sekarang? Apa yang mau kita beli? Apa yang sudah hilang?

I awoke in a soft bed in a temperature- controlled home. I commuted to work in a pickup with all the conveniences of a luxury sedan. I killed any semblance of boredom with my smartphone. I sat in an ergonomic desk chair staring at a screen all day, working with my mind and not my body. When I arrived home from work, I filled my face with no- effort, highly caloric foods that came from Lord knows where.

The most physically uncomfortable thing I did, exercise, was executed inside an air- conditioned building as I watched cable news channels that are increasingly bent on confirming my worldview rather than challenging it.
- The Comfort Crisis by Michael Easter